Eksistensialisme Menurut Jean-Paul Sartre

Selamat bertemu kembali dalam tulisan yang membahas tentang filsafat Barat. Sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana Hermeneutika mengambil posisi sebagai sebuah filsafat dan sekaligus sebagai sebuah teori. Tentunya uraian penulis tentang Hermeneutika tidak selengkap buku-buku yang telah diterbitkan, yang di dalamnya terdapat uraian lengkap dari beberapa filosof. Dalam bilik ini, penulis baru menguraikan Hermeneutika dari satu sudut pandang Gadamer saja. Semoga nanti penulis dapat menambahkan uraian Hermeneutika dari pandangan Diltey, Schlaimacher, Heiddeger, Riceour dkk. Baiklah, dalam artikel kali ini akan penulis jelaskan bagaimana filsafat eksistensialisme menurut Jean Paul Sartre.

Seperti yang telah pembaca ketahui bahwa eksistensialisme merupakan bagian dari filsafat Barat era modern. Dimana pijakan berpikir filsafat ini adalah eksistensi mendahului esensi. Filsafat yang meniadakan peran serta Tuhan dalam penciptaan manusia. Dalam artikel ini, penulis menggunakan rujukan buku Filsafat Barat Kontemporer karya Bertens (Jerman-Inggris) yang diterbitkan di Indonesia pada 2006. Berikut adalah uraiannya;

Sejarah singkat; pada tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di Lion dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl (seorang guru besar yang menjadi influence Sartre, ahli fenomenologi). Semenjak pertemuan itu, Sartre mendalami fenomenologi dan kemudian mengembangkannya menjadi filsafat eksistensialisme. Sartre menjadi terkenal melalui karya-karya yang telah ditulis dalam bentuk karya fiksi seperti novel dan drama. Dalam bidang filsafat, Sartre populer dengan karya L’existentialisme est un humanisme, eksistensialisme adalah sebuah humanisme. Buku ini membicarakan tentang alam dengan segala bentuk eksistensinya. Selain menulis buku fiksi dan filsafat, Sartre juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran apapun tak terkecuali dalam ranah keagamaan. Manusia tidak bersandar pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya (Bretens 2006:93). Ide-ide pokok Filsafat Eksistensialisme Sartre adalah sebagai berikut:

Ada dan Ketiadaan (keberadaan)

Dalam bukunya L’Etre et le Neant yang merupakan suatu ontologi atas dasar fenomenologis, Sartre ingin menunjukkan suatu ajaran tentang Ada. Itu berarti bagi sartre, problem pokonya adalah hubungan antara kesadaran dan Ada. Dalam buku ini Sartre mengambil keputusan-keputusan yang akan menentukan seluruh pandangannya tentang manusia dan realitas. Berikut adalah pembahasan tentang tiga cara berada:

1. Kesadaran

Titik tolak dari sebuah kesadaran tidak bisa lain adalah cogito: kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini Sartre menganggap Descartes benar. Tetapi filsuf abad ke-17 ini langsung mengartikan cogito sebagai cogito tertutup. Kemudian Sartre belajar dari Husserl, bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah pada yang lain darinya. Menurut kodratnya, kesadaran adalah transedensi bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes.

Apakah yang dapat dikatakan tentang adanya kesadaran? Sudah kita ketahui, kesadaran itu bersifat intensional: menurut kodratnya terarah kepada dunia. Hal itu dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut: kesadaran akan dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran diri (self-consciousness). Tetapi kesadaran akan dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya: mengambil dirinya sebagai obyek pengenalan.

Seperti kita lihat, kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Di satu pihak terdapat kesadaran, di lain pihak terdapat Ada-nya fenomena-fenomena atau Ada begitu saja. Untuk menunjukkan Ada, Sartre menciptakan istilah être-en-soi (being-in-itself atau ada pada dirinya).

2. Être-en-soi (ada pada dirinya).

Tentang  être-en-soi itu harus dikatakan: it is what it is. être-en-soi itu sama sekali identik dengan dirinya. Être-en-soi itu tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif. Kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Être-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, dan tidak mempunyai kemungkinan atau tujuan. Être-en-soi itu sama sekali kontingen, yang artinya ada begitu saja tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Suatu hal lain yang ditekankan oleh Sartre adalah bahwa kesadaran sekali-kali tidak boleh diturunkan dengan benda. Seterusnya kita akan mengenal istilah être-pour-soi (being for itself atau ada bagi dirinya).

3. Être-pour-soi (ada bagi dirinya).

Être-pour-soi mempunyai status yang sama sekali berlainan dengan être-en-soi. Être-pour-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan être-en-soi. Être-pour-soi harus dikatakan it is not what it is. Kesadaran berarti distansi, jarak, non-identitas. Bagi Sartre itu berarti kesadaran sama dengan kebebasan.

Dengan demikian, Sartre dapat menjawab pertanyaan yang banyak memusingkan para filsuf: “Dari mana asalnya ketiadaan?” Jawabannya adalah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan être-pour-soi. Manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus être-pour-soi adalah “menindak”.

Jika kita membandingkan antara dua cara berada être-en-soi dengan être-pour-soi, être-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan être-pour-soi, sedangkan être-pour-soi mempunyai relasi dengan être-en-soi, yaitu tidak lain dengan “menindak” être-en-soi.

Kebebasan

Sudah kita lihat bahwa kesadaran yang “menindak” sama dengan kebebasan. Dalam filsafat Sartre ‘kebebasan” adalah kata kunci. Sartre mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Manusia adalah satu-satunya makhluk dimana eksistensi mendahului esensi.

Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel  La Nausée (1938) dan essei L’Exsistensialisme est un Humanisme (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Manusia hanya sekedar ada. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya.

Kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Kecemasan menyatakan kebebasan, sama seperti rasa muak menyatakan Ada. Sebagaimana menjadi kebiasaan dikalangan para eksistensialis sejak Kierkegaard, Sartre pun membedakan ketakutan (fear) dari kecemasan (anxiety). Ketakutan mempunyai salah satu obyek, yaitu benda-benda dalam dunia. Kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya tergantung pada diri saya. Sebuah contoh yang diberikan Sartre adalah sebagai berikut. Saya menghadap tepi jurang yang tinggi dan terjal. Sudah saya bayangkan apa yang akan terjadi bila saya menerjunkan diri kedalam jurang. Sama sekali bergantung pada diri saya dengan apa yang akan saya perbuat. Terjun kedalam dengan hati-hati melangkah mundur ketempat yang aman. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan diri saya dan tidak ada yang menghalangi saya untuk terjun ke dalam jurang. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya.

Relasi antar Manusia

Bagian filsafat Sartre yang paling mendapatkan komentar dan kritik adalah pandangannya tentang relasi-relasi antar manusia. Dalam konteks ini beberapa ucapan Sartre yang banyak dikutip adalah misalnya “Neraka adalah orang lain” dari drama Pintu Tertutup dan “Dosa asal saya adalah adanya orang lain” dari buku Ada dan Ketiadaan.

Bagi Sartre, setiap relasi antar manusia pada dasarnya dapat diasalkan dari konflik. Konflik adalah inti dari setiap relasi inter-subyektif. Sarana yang penting dalam konflik ini adalah sorot mata (le regard). Sorot mata ini harus dimengerti dengan cara yang luas yang juga meliputi suara langkah-langkah yang mendekat lalu berhenti. Pendek kata, sorot mata ialah orang lain (Autrui) yang menonton saya, mengobservasi saya, dan dengan demikian mengobjektivasi saya.

Dalam hubungan konkret dengan orang lain saya dapat melakukan dua hal. Saya bisa tunduk kepada orang lain dengan menjadikan saya obyek bagi dia sebagai subyek. Hal ini terjadi dalam cinta dan masokisme. Tetapi saya juga bisa mencoba membuat dia sebagai obyak bagi saya sebagai subyek. Inilah yang yang diusahakan dalam benc, sikap tak acuh, sadisme dan keinginan seksual (le désir). Jadi untuk semua relasi ini dasarnya adalah konflik.

Moralitas

Buku Ada dan Ketiadaan sebetulnya berasal dari inspirasi moral dan memang benar, bagi Sartre manusia adalah makhluk yang tidak ada begitu saja, tetapi bertugas untuk berada, bertugas untuk bereksistensi. Dengan demikian ontologi tidak dilepaskan dari etika. Tidak ada nilai-nilai dan norma-norma etis yang subyektif. Mereka yang menerima nilai-nilai dan norma-norma serupa itu bagi Sartre ditandai oleh esprit de sérieux (suasana pikiran serius). Tingkah laku mereka bertumpu pada sikap malafide (mengakui dan menyangkal apa yang ada dalam hatinya) karena mereka melarikan diri dari kebebasan.

Moral sejati baru mungkin jika kita meninggalkan sikap tidak otentik itu dan mengakui eksistensi kita sendiri sebagai asal-usul nilai-nilai. Dalam buku kecil L’Exsistensialisme est un Humanisme, Sartre membicarakan keberatan orang kristen tentang moralnya. Mereka mengetengahkan dengan menolak keberadaan Allah dan norma-norma obyektif secara konsekuen Sartre harus mengatakan bahwa manusia selalu boleh berbuat sesuka hati. Sartre menjawab bahwa eksistensialisme membebani manusia dengan tanggung jawab sepenuhnya atas dirinya sendiri dan orang lain. Tidak ada norma-norma abadi, tidak ada perintah-perintah tuhan yang berlaku selamanya. Norma-norma dan nilai-nilai diciptakan oleh kebebasan kita.

Demikianlah uraian seputar filsafat eksistensialisme Sartre yang dirangkum penulis dan disusun ulang dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tujuan penulis mengubah struktur bahasa filsafat yang cenderung membingungkan menjadi suatu bahan bacaan yang menyenangkan.  Penulis tidak bermaksud mengubah orisinalitas buku Filsafat Barat Kontemporer, namun lebih kepada membuat pembaca gemar membaca dan mempelajari filsafat. Semoga bermanfaat ya. Mari sebarkan ilmu, karena salah satu amalan yang pahalanya terus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Salam menulis.

disusun oleh: Eko Romansah

Leave a comment