Hermeneutika Menurut Hans-Georg Gadamer

Kali ini penulis akan menampilkan rangkuman seputar hermeneutika sebagai sebuah teori untuk membedah karya sastra tekstual. Teori hermeneutika ini telah banyak dipaparkan oleh filosof dengan berbagai jenis perbedaan cara berpikir tentang hermeneutika itu sendiri. Seperti yang kita tahu tentang nama-nama populer William Diltey, schlmeizher, Heidegger, dan Gadamer telah memaparkan hermeneutika sacara lengkap sesuai era mereka. Kali ini penulis mengambil teori yang dipaparkan oleh Gadamer yang dianggap paling lengkap untuk sebuah pemahaman Hermeneutika. Disamping itu, hermeneutika Gadamer berjasa besar dalam penyusunan skripsi penulis dalam membedah novel karya Jean Paul Sartre, Les Mots.  Berikut uraiannya.

Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle) bagian teks bisa dipahami lewat keseluruhan teks dan juga bisa dipahami lewat bagian-bagiannya. Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialektik dan peristiwa kebahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman (http://www.cambridge.org).

Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer mangatakan bahwa dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya, retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan, akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain (Dostal 2002:36).

Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method (1980), yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara (Dostal 2002:36).

Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental (Dostal 2002:36).

  1. Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran

Menurut Gadamer bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru (Dostal 2002:37).

Hermeneutika adalah proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti menyentuhnya dengan akal budi, melihatnya secara lebih jelas, dan menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu atau memahami teks (Dostal 2002:37).

Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Pengalaman hidup dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini (Dostal 2002:37).

  1. Pengertian sebagai Kegiatan Praktis

Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan (Dostal 2002:38).

Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu (Dostal 2002:39).

Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya (Dostal 2002:39).

  1. Pengertian sebagai Kesepakatan

Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju.   Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, “we understand each other”. Kata understand bisa berarti mengerti atau memahami dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti (Dostal 2002:40).

Ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut, misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar (Dostal 2002:40).

Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks (Dostal 2002:41).

Di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder, yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah, maksud asli pengarang tetap ada. Kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang, tetaplah harus diingat bahwa fokus dari hermeneutika atau proses menafsirkan menurut Gadamer adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks (Dostal 2002:42).

Kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini, memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa (Dostal 2002:42).

Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk mengartikulasikannya dalam kata-kata dan menyampaikannya dalam komunikasi. Proses ini, peran bahasa sangatlah penting (Dostal 2002:43).

Bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa, misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak hanya itu, seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata (Dostal 2002:43).

Di dalam bukunya yang berjudul Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis (Dostal 2002:44).

Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi bentuk bahasa yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap sehingga tercipta kesalahpahaman. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman (Dostal 2002:45).

  1. Konsep Lingkaran Hermeneutis

Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman (Dostal 2002:46).

Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin (Dostal 2002:46).

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer (Dostal 2002:47).

Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi (Dostal 2002:47).

Bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut (Dostal 2002:48).

Bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat yang biasanya negatif dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks (Dostal 2002:48-49).

Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Ia membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri (Dostal 2002:49).

Disusun oleh: Eko Romansah

Leave a comment